Ibuku Seorang Pelacur
”Kenapa alarmku baru berbunyi?” pikirku. Samar-samar kulihat matahari sudah mulai menampakkan cahayanya dan aku belum sempat bangkit dari ranjang kayu kesayanganku. Ayam juga sudah mulai berkokok bersahut-sahutan seakan menyindirku akan keterlambatanku menatap dunia hari ini. Segera aku melompat dari ranjang dan langsung menuju kamar mandi. Kamar mandi yang sejak sepuluh tahun lalu berdiri kokoh di sebelah timur rumahku. Sekedar menyegarkan kepala, akupun membasahi wajah dan rambutku. Aku mulai menimba air untuk aku dan ibuku. Aku kembali setelah kira-kira bak mandi penuh. ”Apa kubangunkan ibu sekalian ya?” pikirku. Tapi memang tak ada salahnya. Ketika akan mengetuk pintu — seperti biasa — bau alkohol menusuk dari kamar ibu. Mengapa harus seperti ini?
Dulu ibu tidak seperti ini. Dia wanita yang periang, mandiri dan penuh kasih sayang. Seakan-akan segala kebaikan ada padanya. Hampir setiap pagi ibu selalu membangunkanku kurang dari jam lima untuk membantunya menggoreng tempe dan tahu isi untuk dijual. Sebelum aku berangkat sekolah biasanya persiapan ibu untuk ke warung juga sudah selesai. Memang, ibu membuka warung di pinggir jalan raya kira-kira dua kilometer jauhnya dari rumah kami. Itu dilakukan ibu untuk menambah penghasilan keluarga di samping penghasilan ayah yang biasanya dikirim sebulan sekali pada pertengahan bulan. Hidup kami sangat tenang dan bahagia sebelum datangnya suatu berita yang mengguncang hidup kami.
Ayahku adalah anggota TNI yang bermarkas di dinas ketentaraan di Medan. Ayahku telah mengabdi kepada bangsa tercinta sejak aku masuk Sekolah Dasar. Dia adalah ayah dan suami yang baik. Aku dan ibu sangat kagum kepadanya. Dia mempunyai jiwa kepemimpinan yang tinggi. Dia mengajariku kedisiplinan yang luar biasa sejak aku masih dini. Dan itu sangat berarti hingga aku dewasa seperti ini. Selama ditinggal bertugaspun sosok ayah terasa masih ada di rumah kami. Perintah-perintah dan aturan-aturannya seakan selalu menggema di dalamnya. Aku dan ibu sangat menghormatinya dan juga menyayanginya. Begitu juga perlakuan ayah kepada kami.
Suatu ketika di pagi yang indah di awal musim panas tahun ini, aku sedang sibuk menyapu halaman, sedangkan ibu sibuk dengan adonan dan bumbu-bumbuan di dapur yang dipenuhi dengan asap. Di hari Minggu memang aku membantu penuh kesibukan ibu. Maklum, di hari-hari biasa aku harus sekolah mulai pagi. Dan di hari libur seperti ini, ibu baru membuka warung sekitar pukul sembilan pagi.
Ketika aku masih sibuk menggoyangkan sapu lidiku di atas tanah dan rerumputan depan rumahku, samar-samar di kejauhan aku melihat seseorang yang mamakai seragam TNI berjalan dengan tegap dari ujung sana. Sejenak kupikir itu ayah, ternyata bukan. Tapi dia memang menuju rumah kami. Setelah berada di depan rumah kami, dia bertanya kepadaku, ”Apa ini rumah Ibu Hendra?”
”Iya benar.” jawabku. ”Ada keperluan apa Pak?” tiba-tiba rasa ingin tahuku muncul.
”Ibu ada?” tanyanya kembali tanpa menjawab pertanyaanku.
Tanpa menjawab pertanyannya, aku langsung berjalan menuju dapur untuk memanggil ibu. Awalnya ibu tidak percaya. Dia kira aku hanya bercanda karena kami memang sama-sama merindukan ayah yang sudah enam bulan tidak pulang. Akhirnya ibu percaya dan segera membersihkan tangannya dari sisa-sisa adonan yang masih membalut tangannya. Setelah dikira cukup, ibu menemui tamu kami yang memperkenalkan dirinya Joni Hutagalung dari dinas ketentaraan yang sama dengan ayah. Dia mengatakan bahwa ayah adalah seorang prajurit yang baik. Dia salah satu prajurit teladan di datasemennya. Aku dan ibu merasa bangga. Akan tetapi aku menangkap ada hal lain yang disembunyikan orang ini. Setelah berbincang-bincang dan berbasa-basi cukup lama, akhirnya dia menyampaikan berita yang sangat mengajutkan aku dan ibu. Bukan hanya tmengejutkan, tapi juga sangat memukul jiwa kami.
”Atas nama jajaran TNI dan Polri, saya mengabarkan bahwa suami anda, Hendra Setiawan, telah tewas dalam pertempuran melawan pemberontak di Aceh beberapa hari yang lalu.” kata perwira tersebut dengan aksen bataknya yang khas tetapi tanpa mengurangi kebijaksanaan penuturannya.
Seketika itu juga, ibu langsung menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Aku juga sangat terkejut seperti ibu, tapi aku lebih bisa menguasi diri dari pada ibu. Belum sempat tamu kami menjelaskan detail dan penjelasannya, ibu keburu pingsan dan kepalanya bertumpu di bahuku. Dengan tatapan sedih ke arah tamu kami, aku menggeleng-gelengkan kepala sebagai tanda bahwa aku tidak percaya akan berita yang kami terima.
Aku yang dibantu Pak Joni, tamu kami, mengangkat ibu untuk direbahkan di kamar ibu yang tak jauh dari ruang tamu. Aku mulai memijat-mijat kepala ibu sedangkan Pak Joni berdiri tak jauh dari ranjang tempat ibu tergeletak tak berdaya. Belum sempat ibu sadar, dia berpamitan. Aku mengantarkannya hingga pintu depan. Dia menepuk-nepuk bahuku sebagai tanda keprihatinan atas peristiwa yang ayah alami. Aku hanya diam.
Setelah dua jam lamanya ibu tak sadarkan diri, akhirnya ibu membuka matanya kembali. Ibu tak berkata apa-apa kepadaku. Akupun tak berani berkata kepadanya. Dan sejak saat itu ibu seakan hidup sebagai orang lain di dunia yang baru. Ibu jadi semakin pemurung. Hari-harinya terkesan sangat sepi meskipun kami terbiasa tanpa ayah di rumah, dan meskipun selalu ada aku di sisinya. Ibu jadi sering marah tanpa alasan yang jelas kepadaku. Sebenarnya hal itu tak jadi masalah bagiku. Yang sangat memukulku adalah kebiasaan ibu — beberapa hari setelah berita itu kami terima — pulang malam dalam keadaan mabuk. Tak jarang ibu membawa pria lain yang berbeda setiap malamnya ke rumah kami, bahkan masuk ke kamar ibu dan tidur bersama. Dan itu masih berlanjut hingga sekarang.
”Saddam!” teriak ibu membuyarkan lamunanku.
”Iya, Bu.” jawabku.
”Belikan rokok di warung sebelah. Ini uangnya.”
Tanpa menjawab perkataan ibu, aku langsung mengetuk pintu kamar ibu.
”Langsung masuk saja!”
Aku sempat kaget saat melihat ada seseorang di samping ibu, di ranjang tidurnya. Seorang laki-laki separuh baya sedang berbaring setengah sadar. Ini mungkin hal biasa yang ada di rumahku tapi baru kali ini aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
”Ini uangnya. Kembaliannya kamu ambil saja.” kata ibuku.
”Iya Bu.”
Entah karena aku tidak tahan di kamar itu atau karena apa, aku langsung pergi tanpa melihat wajah ibuku dan orang yang ada di sampingnya. Aku langsung keluar rumah dan dan pergi ke warung sebelah rumahku. Sebungkus rokok disodorkan Bu Herman, pemilik warang itu, beserta beberapa uang kembalian. Aku kembali ke rumah dan meletakkan rokok beserta uang kembalian di meja dekat pintu kamar ibuku.
”Rokok dan uang kembalian ada di meja.” teriakku.
”Uangnya kamu bawa saja.” jawab ibuku.
”Tidak usah. Aku mau mandi dulu.” selorohku tanpa memperdulikan lagi jawaban ibu dan langsung menuju kamar mandi.
Ketika jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, setelah sarapan, aku bersiap untuk sekolah. Aku harus berangkat lebih awal perjalanan ke sekolah sepanjang dua kilometer aku tempuh dengan jalan kaki. Lagipula ada beberapa tugas yang belum aku kerjakan. Lima puluh soal kimia yang membuatku pusing semalaman dan membuatku terlambat bangun. Terpaksa aku meniru jawaban teman lain sesampai di sekolah.
Pelajaran di sekolah berjalan seperti biasanya. Cukup menyenangkan meskipun saat pelajaran kimia aku dimarahi guruku habis-habisan karena ketahuan meniru tugas orang lain. Untungnya bukan cuma aku yang kena. Beberapa temanku mengalami nasib yang sama denganku. Maklum, guru kimiaku terkenal sebagai guru ’killer’ di kalangan anak IPA. Sedikit kesalahan bisa membuat tanduknya tumbuh. Ha . . .
Jam setengah dua siang bel pulang berbunyi. Saat-saat aku terbebas dari belenggu pelajaran kimia dengan O2, CO2, NaCl, HCl, dan saudara-saudaranya. Tiga jam penuh membuatku terombang-ambing dalam dunia kegelapan
Aku pulang dengan Dullah, temanku satu kelas yang rumahnya di desa tetangga. Kami bersama-sama jalan kaki. Meski Dullah naik sepeda, dia tetap menyempatkan menemaniku berjalan kaki bersamaku. Dia orang yang baik. Juga teman yang sangat baik buatku.
”Cuacanya panas ya Dam.” kata Dullah ketika kami mulai melangkah meninggalkan sekolahan.
”Iya, panas banget. Namanya juga siang Dul. Apalagi di musim kemarau kayak gini.” jawabku.
”Oiya Dam, ibumu masih jualan?”
”Masih Dul, di tempat yang dulu.”
”Rame?”
”Lumayan, cukup untuk hidup sehari-hari.”
”Kemarin aku lihat ibumu sama orang lain. Dia siapa? Pamanmu?”
Aku menghentikan langkahku dan melihat wajah Dullah dengan tatapan sayu. ”Aku juga tidak tahu dia siapa Dul.” ucapku pelan. Sambil menepuk bahuku Dullah berkata, ”Maaf kalau ada kata-kataku yang membuatmu sedih”. Sepertinya Dullah sudah tau apa pekerjaan ibuku di samping jualan di warung. Aku bersyukur dia masih mau jadi teman baikku.
”Lupakan saja!” jawabku singkat sambil meneruskan perjalanan pulang.
Sesampai di rumah aku langsung berganti pakaian. Memakai celana doreng dan kaos oblong warna hitam. Perutku rasanya mulai keroncongan. Aku mencari makanan di meja makan. Tak kudapatkan sesuatu yang bisa membuat perutku diam. Cuma uang sepuluh ribuan dan secarik kertas. Kubaca.
Ini uang untuk beli makan siang dan malam. Ibu keluar sampai malam.
Kemana ibu pergi? Apa dia dengan laki-laki yang tadi pagi? Banyak pertanyaan yang memenuhi pikiranku, tapi untuk sementara aku ingin buang jauh-jauh. Aku ingin makan dulu. Kuambil uang di meja dan bergegas menuju warung Bu Herman. Sesampai di warung, aku mencari tempat duduk yang dekat dengan kipas angin. Maklum, udaranya memang sangat panas. Padahal perkiraan cuaca meramalkan hari ini akan hujan. Tapi ternyata panasnya seperti di gurun pasir.
”Sotonya satu Bu!” teriakku ketika aku melihat Bu Herman keluar rumah.
”Oh, kamu Nak Saddam. Tunggu sebentar ya!” katanya.
”Iya Bu.” jawabku sambil mengusap keringat yang belum sepenuhnya kering.
Tiba-tiba dari balik pintu muncul anak Bu Herman. Namanya Sulis. Dia adik kelasku di sekolah. Dia kelas satu, sedangkan aku kelas tiga. Dia datang membawa nampan berisi gelas-gelas yang baru dicuci. Dia melihatku.
”Eh Mas Saddam, panas ya? Mau minum apa?” tanyanya.
”Es teh saja Dik. Gulanya jangan banyak-banyak ya.” pintaku.
”Oke deh Mas.” jawabnya sambil mengacungkan kedua jempolnya.
Sulis gadis mungil yang cantik dan lincah. Perangainya baik dan suka membantu orang tuanya. Seperti aku, Sulis adalah anak semata wayang di keluarganya. Tapi dia anak yang manja. Wajarlah kalau bersikap begitu, apalagi anak satu-satunya.
Setelah menyantap habis soto Bu Herman, perutku jadi agak nyaman. Ditambah es teh buatan Sulis yang segarnya minta ampun. Manisnya pas, seperti pembuatnya. Ah, apa sih yang kupikirkan? Aku tidak ingin berpikir terlalu jauh. Apalagi memikirkan hal yang tak pasti.
Bu Herman keluar dari rumah sambil membawa tumpukan piring yang sudah dicuci bersih.
”Sudah kenyang Nak?” tanyanya.
”Sudah Bu.” jawabku sambil mengelus-elus perutku.
”Ibumu tidak masak Dam?”
”Tidak Bu. Mungkin dia sedang sibuk, sampai tidak sempat masak.”
”Tadi aku melihat ibumu sama orang orang desa seberang.” kata Bu Herman.
Aku sedikit kaget mendengar kata-kata Bu Herman. Aku kira ibu sedang jualan di warung. Tapi dia kemana? Dengan siapa?
”Ibu tahu siapa yang bersamanya?” tanyaku pada akhirnya.
”Pak Narto, juragan sapi desa seberang.” jawabnya.
”Kira-kira kemana ya Bu?”
”Wah, ga tau juga ya Nak. Mungkin ke kota.” jawabnya. ”Soalnya dia pakai baju bagus.”
”Ya sudahlah Bu. Oiya berapa semuanya?” tanyaku sambil beranjak dari duduk.
”Tambahnya apa?”
”Kerupuk, dua.”
”Jadinya, tiga ribu sembilan ratus.”
”Ini Bu.” kataku sambil menyerahkan uang sepuluh ribuan pemberian ibu. ”Kembaliannya biar di sini dulu saja, buat makan nanti malam. Permisi dulu ya Bu.” pamitku.
”Oiya Nak.” jawabnya.
”Dik Sulis, pulang dulu ya.” sapaku ketika dia keluar dari rumah.
”Iya Mas. Hati-hati.” jawabnya dengan sedikit senyuman.
Sesampai di rumah aku langsung merebahkan tubuh di kamar tidurku. Mataku mulai liyer-liyer. Ditemani hawa panas, mataku menjadi semakin hilang kendali. Aku terlelap dalam kesunyian. Aku mulai masuk dalam dunia fatamorgana yang menjadi bunga di dalam alam tak sadarku.
Aku melihat diriku sendiri di dalam mimpiku. Diriku yang masih seumur jagung. Terlihat pula ayah dan ibu sedang berada di sampingku. Kami terrlihat sangat bahagia. Kala itu ayah sedang memakai seragam lengkap. Seragam kebanggaan ayah yang saat ini terpampang di ruang tengah rumahku. Ayah sedang menggendongku dan ibu menyuapi aku semangkuk bubur. Semua terlihat sangat nyata, dekat, dan seakan aku bertemu dengan ayah dan ibu yang dulu. Dalam mimpi aku menangis. Menangis karena bahagia, mungkin juga karena sangat sedih. Mengapa hanya mimpi? Mengapa tak terlihat bahkan tak terasa hingga sekarang? Aku menangis dan terus menangis sejadi-jadinya.
Brak!!! Kudengar suara pintu dibanting. Seketika itu juga aku terbangun dari tidurku. Ada apa? Siapa yang membanting pintu? Dalam keadaan setengah sadar aku bangkit dari tempat tidurku, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Hari ternyata sudah gelap, ketika aku melihat jam dinding di kamarku yang menunjukkan pukul tujuh. Saat aku keluar kamar, aku melihat ibu dalam keadaan sempoyongan hendak menuju kamar tidurnya. Dengan susah payah dia mencoba kamarnya dan menggerutu tak tentu maksudnya.
”Ibu?” tanyaku lirih.
Dia hanya diam dan masih mencoba membuka pintu dengan agak paksa. Aku mendekat untuk membantunya.
”Biar aku bantu Bu.” kataku.
”Pergi kau Saddam! Jangan ganggu ibu!” teriaknya.
Aku tak berani mengusiknya jika ibu sudah dalam keadaan seperti ini. Akhirnya dia bisa juga membuka pintu itu. Kulihat dari luar kamar, ibu membanting tasnya di ranjang dan mulai berteriak-teriak tak karuan. Ibu menjadi seperti orang gila yang aku tak tahu apa penyebabnya. Mungkin semua ini berhubungan dengan kepergiannya seharian ini dengan orang yang tak kukenal yang kulihat tadi pagi. Tapi mungkin juga semua anggapanku salah.
”Keparat kau Hendra!” teriak ibu dengan ekspresi kemarahan yang luar biasa. Aku sangat kaget kenapa ibu menyumpahi ayah seperti itu. Setahuku ibu sangat menghormati ayah saat dia masih hidup. Aku menangis melihat kenyataan hidupku yang menjadi porak-poranda. Aku terus melihat ibu dengan linangan air mata di pipiku. Ibu mengobrak-abrik isi lemarinya dan mengeluarkan hampir seluruh isinya. Tiba-tiba ibu terdiam dan menangis.
Kuberanikan diri untuk mendekati ibu. Aku melihat sebuah foto yang saat ini sedang dipegang erat olehnya. Itu foto ayah. Ayah yang wajahnya persis dengan yang kulihat dalam mimpiku tadi. Apa yang ibu rasakan? Apa dia merindukan ayah? Tapi kenapa dia mencelanya?
”Kenapa kau meninggalkankan aku dan anakmu?” rintih ibu. ”Kenapa kau tega membiarkan aku hidup seperti ini?”
”Ayah tidak pernah berniat meninggalkan kita.” kataku pada ibu sambil mendekat dan duduk di sebelahnya. ”Kita merindukan ayah. Sebagaimana ayah merindukan kita.”
”Tapi kenapa dia pergi Nak?” tanya ibu sambil terisak-isak dan mulai memelukku. Pelukan seorang ibu yang selama ini tidak aku rasakan kembali.
”Ayah pergi bukan karena keinginannya. Dia memang sudah tidak ada di dunia ini. Tapi kita harus yakin kalau di sana ayah melihat kita, meskipun kita tak bisa melihatnya.
”Apa dia tahu apa yang ibu lakukan selama ini Nak?”
”Dia pasti melihat. Dan dia juga pasti sangat sedih dengan melihat apa yang ibu lakukan.” kataku sambil terus memeluknya dengan erat.
Seketika itu juga ibu melepaskan pelukannya. Kulihat wajah ibu penuh dengan gurat kesedihan. Dia menatapku dengan tatapan yang sendu. Kuhapus air mata ibu.
”Maafkan ibu Nak! Tak sepantasnya ibu berbuat seperti ini.”
”Jangan minta maaf kepadaku Bu. Minta maaflah kepada ayah!” kataku pelan.
”Apa ayahmu mau memafkan ibumu ini Nak?” tanyanya dengan nada putus asa.
”Ayah pasti memaafkan ibu kalau ibu mau berjanji untuk berubah mulai sekarang. Buatlah ayah bahagia di sana Bu.”
”Maafkan aku Hendra. Maafkan aku Nak.”
Ibu menangis dan terus menangis sambil memelukku dan memeluk foto ayah. Kucoba untuk merebahkan ibu di tempat tidurnya. Aku terus menunggui hingga ibu terlelap dalam tidur dengan linangan air matanya. Akupun tertidur di samping ibu.
”Saddam, ayo bangun! Bantu ibu di dapur!” teriak ibu.
Aku terbangun. Dalam keadaan setengah sadar aku melihat jam dinding. Pukul empat pagi. Dan sekarang aku tidur di kamar ibu. Aku jadi bingung. Kenapa aku tidur di sini? Aku kumpulkan tenaga dan pikiranku untuku kembali ke alam nyata. Aku tersenyum ketika kuingat peristiwa semalam. Dengan semangat juang yang tinggi, aku segera bangkit dari tempat tidur.
”Siap komandan!” jawabku sambil tangan dalam posisi hormat ketika aku berada di dekat ibu. Sontak ibu kaget. Kami bertatapan mata dan akhirnya kami tertawa dengan nyaringnya. Awal hari yang sangat indah.